Masjid Agung Sultan Riayat Syah, Mesjid dengan Arsitektur nan Megah di Batu Aji Kota Batam

Saya selalu percaya bahwa setiap perjalanan punya caranya sendiri untuk menghadirkan kejutan. Kadang, kita berangkat hanya dengan ekspektasi kecil, lalu pulang dengan hati yang penuh. Begitulah yang terjadi ketika saya mengunjungi Masjid Agung Sultan Riayat Syah di Batu Aji, Batam.

Masjid ini sebenarnya bukan tempat yang asing bagi saya. Sejak diresmikan tahun 2019, namanya sudah sering saya dengar—katanya ini adalah masjid terbesar di Kepulauan Riau, katanya arsitekturnya megah, katanya wajib dikunjungi. Tapi seperti kebanyakan tempat yang dekat, saya malah menundanya, berpikir "nanti saja" sampai akhirnya benar-benar lupa.

Sampai suatu sore, saya merasa butuh jeda. Butuh tempat yang bisa menenangkan pikiran setelah berminggu-minggu sibuk dengan rutinitas yang terasa berulang. Dan tanpa banyak pikir, saya akhirnya melajukan motor ke arah Batu Aji.

Perjalanan ke Batu Aji: Jauh? Iya. Worth It? Juga Iya.

Dari pusat kota Batam, perjalanan ke Batu Aji butuh waktu sekitar 45 menit hingga satu jam. Bagi yang sudah biasa ke daerah ini, mungkin jalanannya terasa biasa saja, tapi bagi saya yang jarang main ke sisi barat Batam, rasanya seperti menjelajah bagian lain dari kota yang selama ini terasa familiar.

Masjid Agung Sultan Riayat Syah berdiri megah di lahan yang luas. Dari jauh, saya sudah bisa melihat kubah emasnya yang berkilauan. Menaranya menjulang tinggi, seolah ingin menyentuh langit. Begitu sampai di pelataran masjid, saya berhenti sejenak, mengamati pemandangan di depan.

Megah. Itu kesan pertama saya.

Dan bukan hanya soal ukuran bangunannya, tapi juga bagaimana suasana di sekitarnya terasa begitu damai.

Sentuhan Timur Tengah di Tanah Melayu

Masjid ini memang baru, tapi desain arsitekturnya seperti membawa saya ke Tanah Arab yaitu Masjid Nabawi Madinah. Bentuk kubahnya, detail ornamen yang menghiasi bagian dalamnya, serta gerbang-gerbang besar dengan lengkungan khas arsitektur Arab membuat saya seolah sedang berada di masjid-masjid megah di kawasan Timur Tengah.

Yang paling menarik perhatian saya adalah sistem tirai raksasa yang bisa dibuka dan ditutup, seperti yang ada di Masjid Nabawi di Madinah. Fitur ini memungkinkan udara segar masuk ke dalam ruangan dan memberikan kesan terbuka, sekaligus menyesuaikan kondisi cuaca. Saat tirai ditutup, suasana menjadi lebih teduh dan sejuk, menciptakan kenyamanan bagi para jemaah yang beribadah.

Saya melangkah ke dalam. Langit-langitnya tinggi, memberi kesan lapang dan sejuk. Tidak ada tiang-tiang besar yang menghalangi pandangan, membuat ruangan ini terasa semakin luas.

Lalu ada lampu gantung raksasa di tengah-tengah ruangan. Cahaya emasnya menambah kesan elegan, berpadu dengan warna-warna netral di seluruh bangunan. Duduk di dalam sini, saya merasa kecil—bukan dalam arti negatif, tetapi lebih ke perasaan tersadar bahwa ada hal-hal yang jauh lebih besar dari diri kita sendiri.

Masjid yang Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah

Salah satu hal yang membuat saya menyukai tempat ini adalah suasananya. Masjid ini bukan hanya tempat untuk sholat, tetapi juga tempat di mana orang-orang bisa berhenti sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan.

Di pelatarannya, ada taman yang luas. Beberapa keluarga duduk-duduk santai, anak-anak berlarian di rerumputan. Ada juga yang sekadar bersandar di dinding, menikmati sore tanpa terburu-buru.

"Di sini sering ramai kalau sore," kata seorang bapak yang duduk tidak jauh dari saya. "Banyak yang datang bukan cuma buat sholat, tapi juga buat cari ketenangan."

Saya mengangguk, paham maksudnya.

Di zaman yang serba cepat ini, kita sering lupa cara berhenti. Kita terbiasa bergerak, mengejar, dan jarang memberi diri sendiri waktu untuk diam dan menikmati momen. Tetapi di sini, di bawah langit yang mulai berubah warna, saya merasa waktu berjalan sedikit lebih lambat.

Momen yang Paling Mengena: Senja di Masjid Agung Sultan Riayat Syah

Sesaat sebelum azan ashar berkumandang, langit di atas Batu Aji sudah berubah menjadi langit biru terang. Cahaya matahari masuk disela-sela tirai seolah memberikan siluet yang menyilaukan mata, memberi nuansa dan momen yang begitu menarik untuk kita abadikan.

Saya mengambil kamera, mencoba mengabadikan momen ini. Refleksi cahaya di lantai marmer, siluet orang-orang yang berjalan menuju tempat wudhu, dan menara yang berdiri kokoh di kejauhan—semua terlihat begitu indah dalam bingkai kecil di layar kamera saya.

Tetapi setelah beberapa jepretan, saya menyadari sesuatu.

Mungkin, ada hal-hal yang lebih baik dinikmati dengan mata dan hati, bukan sekadar diabadikan dalam foto. Jadi saya menyimpan kamera, menghela napas panjang, dan menikmati pemandangan ini tanpa gangguan.

Di tempat ini, saya merasa damai.

Kenapa Kamu Harus ke Sini?

Setelah mengunjungi Masjid Agung Sultan Riayat Syah, saya bisa mengatakan bahwa tempat ini bukan hanya soal kemegahan bangunannya. Ini tentang suasana, tentang ketenangan, dan tentang bagaimana sebuah tempat bisa mengingatkan kita bahwa di tengah kesibukan, kita selalu bisa menemukan ruang untuk berhenti dan merenung.

Jadi kalau kamu sedang ada di Batam—entah kamu orang lokal atau hanya singgah—cobalah sempatkan datang ke sini. Datanglah di sore hari, duduklah di pelatarannya, dan rasakan sendiri atmosfer yang berbeda dari tempat ini


Posting Komentar

Komentar