Patung Seribu di Kota Tanjungpinang: Jejak Budaya di Negeri Segantang Lada


Tanjungpinang selalu punya caranya sendiri untuk membuat saya ingin kembali. Kota ini bukan sekadar ibu kota Kepulauan Riau—ia adalah simpul sejarah, budaya, dan pertemuan beragam peradaban.

Jalanan kecilnya yang sibuk, aroma laut yang terbawa angin, dan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri di tepian pantai adalah bukti bahwa kota ini pernah menjadi pusat perdagangan yang ramai. Sejak zaman Kesultanan Riau-Lingga hingga kolonial Belanda, Tanjungpinang telah menjadi tempat persinggahan bagi banyak bangsa.

Tapi kali ini, saya datang bukan untuk menyusuri sejarah Melayu atau menelusuri bekas jejak kolonial di Pulau Penyengat (cerita ini akan kita ulang di artikel lainnya). Saya datang untuk melihat sesuatu yang berbeda. Patung Seribu di Vihara Ksitigarbha Bodhisattva.

Perjalanan ke Vihara Ksitigarbha Bodhisattva

Pagi itu, saya mengendarai motor dari pusat Kota Tanjungpinang menuju arah barat. Jalan menuju vihara ini cukup mulus, meski sesekali ada tanjakan kecil dan pepohonan yang menaungi sisi jalan. Semakin jauh meninggalkan pusat kota, suasana semakin tenang.

Vihara ini terletak di daerah Kawasan Kijang, Kabupaten Bintan, sekitar 14 kilometer dari pusat kota. Dikenal juga dengan sebutan Vihara Patung Seribu, tempat ini mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak beberapa tahun terakhir.

Begitu memasuki kompleks vihara, saya langsung disambut dengan pemandangan yang membuat saya sejenak terdiam. Ribuan patung batu yang berdiri berjajar rapi, seolah menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Seribu Wajah, Seribu Ekspresi

Meski sering disebut Patung Seribu, jumlah patung di vihara ini sebenarnya tidak benar-benar seribu. Totalnya sekitar 500 patung arhat—para murid Buddha yang telah mencapai pencerahan.

Namun, yang membuatnya istimewa bukan sekadar jumlahnya, melainkan detail dan ekspresi unik pada setiap patung. Tidak ada dua patung yang benar-benar sama. Ada yang terlihat tersenyum, ada yang tampak merenung, ada yang menunjukkan ekspresi tegas, ada pula yang seperti sedang bercanda.

Berdiri di antara barisan patung-patung ini, saya merasa seolah berada di tengah-tengah pasukan biksu yang sedang bersiap untuk sebuah perjalanan spiritual.

Seorang pria paruh baya yang sedang berfoto bersama keluarganya berkata kepada saya, "Coba perhatikan lebih dekat, pasti ada satu patung yang ekspresinya mirip kamu." Saya pun tertawa kecil dan mulai mengamati satu per satu.

Dan benar saja—saya menemukan satu patung yang ekspresinya seperti sedang berpikir keras, mungkin memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu terlalu dipikirkan. Saya pun tersenyum sendiri.

Sejarah dan Filosofi di Balik Patung Seribu

Vihara Ksitigarbha Bodhisattva dibangun sekitar tahun 2010-an dan diresmikan pada 2017. Keberadaan vihara ini tidak lepas dari sejarah panjang etnis Tionghoa di Tanjungpinang, yang sudah mendiami wilayah ini sejak ratusan tahun lalu.

Dalam tradisi Buddhisme, para arhat adalah murid-murid Buddha yang telah mencapai kebijaksanaan tinggi dan bebas dari nafsu duniawi. Kehadiran patung-patung ini bukan sekadar simbol, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap ajaran Buddha dan perjalanan spiritual manusia.

Jika diperhatikan lebih dalam, ada nuansa yang mirip dengan Gua Longmen di Tiongkok atau Patung Arhat di Kuil Shaolin. Hal ini tidak mengherankan, mengingat vihara ini didirikan oleh komunitas Tionghoa yang ingin membawa sentuhan budaya leluhur mereka ke tanah Melayu.

Namun, meskipun memiliki gaya arsitektur khas Tiongkok, tempat ini tetap terbuka untuk siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau keyakinan. Banyak wisatawan datang bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk menikmati keindahan dan kedamaian yang ditawarkan vihara ini.

Perpaduan Budaya di Kota Tanjungpinang

Saat berdiri di antara patung-patung arhat, saya berpikir bahwa Tanjungpinang memang unik. Kota ini adalah perpaduan antara budaya Melayu dan Tionghoa, antara Islam dan Buddhisme, antara masa lalu dan masa kini.

Di satu sisi, ada Pulau Penyengat, saksi kejayaan Kesultanan Riau-Lingga dengan Masjid Raya Sultan Riau yang berdinding kuning megah. Di sisi lain, ada Patung Seribu, sebuah peninggalan baru yang membawa warna lain ke dalam mosaik budaya Tanjungpinang.

Kota ini seolah mengajarkan saya bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus ditakuti. Justru, dari perbedaan itulah keindahan muncul.

Menutup Perjalanan di Patung Seribu

Saat matahari mulai turun, suasana di vihara menjadi lebih tenang. Cahaya senja perlahan menyelimuti barisan patung, menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan mistis. Saya mengambil beberapa foto, tetapi seperti biasa, ada momen-momen yang lebih baik disimpan dalam ingatan saja.

Sebelum pulang, saya duduk sejenak di salah satu sudut vihara, mengamati sekeliling. Saya melihat seorang wanita muda berjalan di antara patung-patung itu, sesekali berhenti dan mengamati wajah mereka satu per satu, mungkin mencoba mencari yang paling mirip dengannya—seperti yang saya lakukan tadi.

Saya tersenyum.

Mungkin, di sinilah daya tarik sesungguhnya dari Patung Seribu. Bukan hanya karena arsitekturnya yang megah atau sejarahnya yang menarik, tetapi karena tempat ini menawarkan sesuatu yang lebih dalam: kesempatan untuk melihat refleksi diri kita sendiri dalam wujud yang berbeda.

Dan bukankah itu yang sering kita cari dalam setiap perjalanan?

Posting Komentar

Komentar